Al Jazeera Akan Tempuh Jalur Hukum “Siaran Kecurangan Pilpres”
MataPublik.co, JAKARTA — Al Jazeera Media Network menyesalkan beredarnya video “Siaran Kecurangan Pilpres TV Al Jazeera” karena memutilasi tayangan berita Al Jazeera Media Network di luar konteks berita sehingga dapat membingungkan penontonnya.
Pernyataan ini dikeluarkan media berkantor pusat di Qatar ini sehubungan dengan tersebarnya sebuah video berjudul “Siaran Kecurangan Pilpres TV Al Jazeera” di media sosial maupun aplikasi percakapan.
“Al Jazeera Media Network selalu berpegang kuat pada prinsip obyektifitas dan cover both sides dalam setiap peliputan termasuk pada penyelenggaraan Pemilihan Umum Indonesia 2019,” ujar Sohaib Jassim, Kepala Biro Jakarta Al Jazeera Media Network dalam pernyataan yang diterima Indonesiainside.id, Senin (13/5).
Lebih lanjut, stasiun televisi berbahasa Arab dan Inggris ini mengimbau semua pihak untuk menggunakan situs maupun akun media sosial resminya agar terhindar dari konten hoaks atau informasi yang menyesatkan dengan mengatasnamakan Al Jazeera. Televisi yang memiliki 80 biro di seluruh dunia ini mengaku, kasus ini bukan yang pertama terjadi, selama Pemilu 2019. Karenanya, pihaknya berencana akan menempuh jalur hukum.
“Peristiwa ini merupakan kali kedua menimpa Al Jazeera Media Network sepanjang Pemilihan Umum 2019 sehingga kami mempertimbangkan untuk menggunakan langkah hukum terhadap pihak yang berupaya merusak kredibilitas media kami dengan menyebar konten hoaks atau informasi menyesatkan dengan mengatasnamakan Al Jazeera Media Network,“ ujar Sohaib.
Adalah stasiun televisi berbahasa Arab dan Inggris yang berbasis di Doha, Qatar. Stasiun TV ini menjadi populer setelah serangan 11 September 2001, ketika stasiun ini menyiarkan rekaman pernyataan Osama bin Laden dan pimpinan al-Qaeda lainnya.
Al Jazeera adalah stasiun TV yang populer setelah serangan 11 September 2001, karena merilis pernyataan Osama Ben Laden.
Saat ini Al Jazeera menyaingi BBC dalam skala jumlah pemirsa yang diperkirakan mencapai 50 juta pemirsa. Ia juga mengklaim sebagai satu-satunya stasiun TV yang independen secara politik di Timur Tengah, bahkan tak sedikit dimusuhi di Timur Tengah sendiri atau di Israel.
Tahun 2015, pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman penjara tiga jurnalis Al Jazeera atas dakwaan membantu kelompok Ikhwanul Muslimin, yang paling ditakuti rezim Mesir. Terutama pasca kudeta pemerintahan sah pimpinan Dr Mohammad Mursi oleh Jenderal Abdul Fattah al Sisi.
Ketiga jurnalis Al Jazeera — Peter Greste (Australia), Mohamed Fadel Fahmy (Mesir-Kanada) dan Baher Mohamed– mendapat dua vonis yakni 7 tahun penjara. Mereka mendekam dalam tahanan selama hampir enam bulan, bersama-sama dengan enam terdakwa lainnya.
Tahun 2017, Pemerintah Yahudi Israel, medesak upaya menutup kantor-kantor Al-Jazeera muncul setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menuduh media yang kritis pada kejahatan Zionis-Israel itu menyiarkan hasutan. Bahkan Netanyahu mengatakan pada 27 Juli 2017 dia ingin Al-Jazeera diusir dari Israel. (cak)