Benahi Payung Hukum dan Koordinasi Kewenangan, Memutus Mata Rantai Illegal Drilling
MENELUSURI jalan-jalan dikawasan Kecamatan Sanga Desa Musi Banyuasin Sumatera Selatan, bukan pemandangan asing ketika melihat sepeda motor atau pun mobil carry bak terbuka melintas di jalanan dengan santai. Kendaraan tersebut dengan santai mengangkut minyak hitam alias minyak mentah dalam jerigen berbagai ukuran. Warga sekitar sudah terbiasa bahkan dianggap sebagai mata pencaharian yang halal.
Benar. Itulah minyak mentah yang diangkut dari sumur-sumur minyak illegal yang dikelola sendiri alias illegal drilling oleh warga tanpa ada izin. Apalagi dari sisi keamanan dan keselamatan pekerja sangat membahayakan. Hampir setiap saat berita kebakaran dikawasan illegal drilling selalu menghiasi pemberitaan media.
Kegiatan illegal drilling selalu menjadi duri dalam daging dalam sektor hulu migas di Tanah Air. Bukan saja merusak lingkungan tapi juga menganggu penerimaan negara dari sektor migas. Padahal cadangan migas terus menurun secara drastis. Pelaku usaha migas kian sulit menemukan eksplorasi untuk meningkatkan cadangan. Persoalan kian parah dengan banyaknya illegal drilling yang terjadi di lapangan.
Dulu pada masa era otonomi daerah, kepala daerah menjadi raja kecil, illegal drilling sangat marak. Kepala daerah dituding ikut memberi kontribusi terhadap maraknya kegiatan haram ini. Kini, setelah sektor perizinan diambil alih oleh pusat kegiatan illegal drilling tidak juga surut. Tadinya, Pemerintah Pusat diharapkan mempunyai kewenangan pengawasan terhadap kegiatan hulu migas. Sebaliknya, tetap berjalan seolah tak terpengaruh dengan aturan yang dibuat.
Sektor hulu migas memang termasuk sektor rentan dengan berbagai tindak pencurian minyak, terjadi hampir setiap hari. Kegiatan illegal drilling seakan tidak berkesudahan dan sulit diatasi hampir diberbagai daerah di Tanah Air. Apalagi, penegakan hukum terhadap illegal drilling belum dilaksanakan secara optimal karena belum ada payung hukum yang kuat. Sementara, birokrasi malah menjadi problem. Khususnya, kewenangan pengelolaan mulai perizinan sampai penertiban diambil pemerintah pusat.
Pernyataan menarik disampaikan Halilul Khairi Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN Kemendagri dalam Local Media Briefing yang digelar SKK Migas bersama wartawan. Dikatakannya, kewenangan pengelolaan migas yang sepenuhnya dipegang pusat membuat Pemda tidak leluasa dalam mengatur, mengawasi serta menindak pelaku illegal drilling.
Ditambah lagi, motif ekonomi menjadi penyebab maraknya illegal drilling yang dilakukan oknum warga. Sehingga, tak bisa hanya melakukan penertiban semata. Tanpa ada solusi bagi kesejahteraan masyarakat. Sehingga banyak lokasi sumur yang sudah ditutup akibat pelanggaran namun kembali dibuka oleh oknum warga.
Dikatakan Halilul, pengelolaan hulu migas terkait dengan izin persetujuan tata ruang dan izin lingkungan. Kini semua kewenangan itu diambil alih pusat, tadinya kewenangan kabupaten/kota. Menyusul, diberlakukannya Pasal 15 ayat 2 pada UU No 11 tahun 2020 Perubahan dari Pasal 27 UU No 26 Tahun 2007.
‘’Nah karena aturan Pusat maka Daerah tak bisa menerapkan Perda. Tak boleh Daerah mengatur atau mengurus yang bukan kewenangannya. Seperti sektor migas maka daerah tidak dapat dan tidak diperbolehkan mengatur yang bukan kewenanganannya. Sehingga aparat penegak hukum Sat Pol PP, tak bisa melakukan tugasnya,’’ sesal Halilul.
Padahal, jika kewenangan itu diberikan kepada Daerah maka bisa diatur dengan Perda atau peraturan kepala daerah. Jika ada perlanggaran bisa dilakukan oleh Sat Pol PP untuk penegakan penertiban umum dengan cepat karena Pemerintah kabupaten/kota memiliki rentang jarak yang lebih dekat.
‘’Daerah dapat melakukannya jika itu menjadi kewenangan daerah. Pemda tak bisa menertibkan illegal drilling karena menjadi kewenangan pusat,’’ tegasnya lagi.
Lantas apa instrumen dan bagaimana mengawasi illegal drilling ini? Masih ada cara, timpal Halilul lagi, Misal dengan melakukan tugas perbantuan. Itu pun harus diperkuat dengan peraturan. Karena Pemda bukan ‘orang suruhan’ Pusat.
Daerah tidak bisa berbuat sepanjang tak ada Perda yang dilanggar. Padahal, kegiatan Illegal drilling itu jelas melanggar dua hal yakni persetujuan izin lokasi dan izin lingkungan. Sementara keduanya, merupakan kewenangan Pusat. Tidak mungkin Pusat memberi izin sementara jika ada pelanggaran maka Daerah yang memberi sanksi.
‘’Tentu siapa yang memberikan izin dialah yang memberikan sanksi. Jadi Daerah tak punya kewenangan. Inilah konsekwensi dari paradigma pemerintahan sentralistik yang dianut dalam perizinan dalam UU No 11 tahun 2020,’’ tegasnya.
Namun Halilul memberi gambaran, Daerah bisa melakukan tindakan jika melanggar IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dilokasi tersebut. Sat Pol PP hanya merobohkan bangunannya saja bukan menutup illegal drilling.
Halilu berkesimpulan, Pemerintah Pusat harus bertanggungjawab melakukan sendiri pengawasan dan penertiban terhadap illegal drilling minyak dan gas sebagai konsekwensi sentralisasi kewenangan yang dilakukan melalui UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah daerah tidak dapat dibebankan untuk melaksanakan suatu tindakan yang bukan wewenangnya.
Sementara, maraknya illegal drilling menjadi perhatian SKK Migas. Melalui Staf Ahli SKK Migas, Ngatijan mengakui sangat kompleks dan tidak sederhana. Diakuinya, penghentian sumur minyak ilegal hendaknya bukan melihat dari sisi aspek hukum. Namun lebih kepada isu sosio ekonomi masyarakat sekitar.
SKK Migas sendiri tidak berdiam diri melainkan telah melakukan berbagai upaya terhadap penanganan sumur illegal. Seperti melakukan MoU (naskah perjanjian kerjasama) dengan Kapolri dan Panglima TNI. Termasuk melakukan prosedur koordinasi apabila terjadi kegiatan sumur illegal diwilayah kerja KKKS. Juga melakukan sosialisasi sesuai Permen ESDM RI No 01/2008 sebagai bentuk CSR atau pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Dijelaskan Ngatijan, dari sisi tindak lanjut dilapangan, adanya pembentukan tim kajian penanganan pengeboran sumur illegal serta penanganan dan pengelolaan produksi sumur illegal. Serta koordinasi Ditjen Migas, Pemda, Muspida, aparat kepolisian dan TNI dalam upaya penghentian dan penutupan sumur illegal.
‘’Jelas dampak illegal drilling bagi kegiatan operasi KKKS menganggu kegiatan penyaluran produksi, kerusakan dan tindak pencurian atas fasilitas produksi yang ada dilapangan. Sementara, KKKS tak dapat masuk wilayah kerjanya sendiri,’’ ujarnya.
Belum lagi, dari sisi kerusakan lingkungan dan biaya yang ditimbulkan termasuk biaya penggantian lahan milik warga yang tercemar akibat kegiatan illegal drilling. Maka itu, SKK Migas sendiri sudah menyampaikan beberapa rekomendasi dan poin penting kepada Pemerintah Pusat.
Diantaranya, kegiatan sumur tanpa persetujuan alias ilegal harus ditertibkan, bisnis hilir ilegal seperti pengangkutan penampungan dan penyulingan minyak ilegal harus dilarang. Tentang adanya aspirasi masyarakat untuk ikut mengelola, ujar Ngatijan lagi, akan diatur dalam Perpres dan Permen ESDM RI.
Selain itu, membentuk Tim Satgas lintas sektoral dengan Menko Polhukam RI sebagai koordinator. Tak lupa juga melakukan edukasi kepada masyarakat khususnya terkait dengan kerusakan lingkungan dan aspek keselamatan kerja. ‘’Sebab dampak illegal drilling bukan hanya untuk lingkungan tapi juga diri sendiri bagi pelaku,’’ tuturnya.
Dalam kesempatan itu juga, Ngatijan memberi solusi untuk pengelolaan eks sumur illegal baik dalam maupun luar wilayah kerja KKKS. Seperti apa? yakni, semua sumur illegal berhenti operasi dan tak ada penggalian sumur illegal baru, harus ada pengamanan yang ketat atas sumur illegal tersebut. Jika ada pihak yang berminat untuk mengelola sumur tersebut seperti BUMD atau perusahaan harus mengajukan izin.
‘’Tentu harus memenuhi syarat teknis dan non teknis sebelum beroperasi yang pemeriksaannya persyaratannya dilakukan oleh lembaga berwenang. Juga proses produksi dan transportasi serta komersialisasinya harus taat aturan,’’ ujarnya.
Ditambahkan Ngatijan, semua itu harus dilakukan monitoring dan pengawasan secara berkala atas pengusahaan sumur illegal baik aspek teknis maupun non teknis. Jika nantinya ada pelanggaran pelaksanaan pengusahaan eks sumur illegal maka dapat diancam dengan pencabutan izin dan tindak pidana secara tegas.
Terakhir, Ngatijan memaparkan, SKK Migas sendiri telah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mengatasi illegal drilling ini. Diantaranya, pembentukan Tim Gabungan lintas sektoral dan Kementerian baik Pusat maupun Daerah. Pembuatan dasar hukum untuk membentuk tim gabungan dengan Peraturan Presiden tentang penanganan pemproduksian minyak bumi pada bekas sumur illegal.
Dasar hukum ini, lanjut Ngatijan, sangat penting dan harus memiliki komposisi yang jelas. Seperti nama daftar lembaga Pusat maupun Daerah yang dilibatkan. Masing-masing lembaga diberi tugas dan tanggung jawab. Untuk memaksimalkan kerja setiap lembaga maka harus ada koordinasi pelaporan kegiatan dalam rentang periode tertentu.
Sementara, rekomendasi untuk aksi pencegahan dan pemberantasan penambangan minyak bumi illegal, Ngatijan menjelaskan, harus ada payung hukum untuk penertiban kegiatan penambangan minyak illegal yang masih berlangsung. Serta ada upaya penutupan sumur illegal bekas kegiatan disertai dengan pemusnahan sarana dan prasarana yang dipergunakan oleh oknum warga untuk penambangan illegal.
‘’Lebih penting lagi adalah memutus mata rantai jalur pengangkutan dan penampungan pengolahan serta penjualan minyak illegal dari hasil penambangan illegal ini. Serta upaya pencegahan munculnya kegiatan sumur ilegal baru,’’ paparnya. (dante)