NASIONAL

Din Syamsuddin: Masyarakat Bisa Menilai Putusan MK

MataPublik.co, JAKARTA –  Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2019 harus diterima dan dihormati sebagai produk hukum. Keputusannya memang bersifat final dan mengikat.

Meski begitu, bukan berarti masyarakat tidak bisa menilai proses di MK hingga menghasilkan sebuah keputusan. Masyarakat tetap mempunyai hak dan kewajiban melakukan koreksi moral. Banyak fakta dan dalil hukum yang tidak didalami sehingga putusan MK terkesan masih jauh dari rasa keadilan.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menyambut baik putusan MK soal sengketa Pilpres 2019. Namun, punya catatan tersendiri yang juga dirasakan oleh sebagian masyarakat.

“Saya merasa ada rona ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi. Banyak fakta dan dalil hukum yang terkesan tidak didalami,” kata Din melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (29/6).

Dia mengatakan memang pilihan tersedia bagi rakyat warga negara yang taat konstitusi adalah menerima keputusan MK sebagai produk hukum. Itu adalah sikap taat hukum.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mengatakan MK terikat amanat konstitusi dan nilai moral untuk menegakkan kejujuran serta keadilan. Maka, kata dia, rakyat berhak menilai mereka apakah telah mengemban amanat dengan benar, yaitu menegakkan kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Itu adalah sikap moral.

Jika rakyat meyakini ada pengabaian nilai moral di MK yang membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar seperti membenarkan kecurangan, kata dia, maka rakyat mempunyai hak dan kewajiban melakukan koreksi moral. “Seperti banyak rakyat, saya pun merasakan demikian. Rasa keadilan saya terusik. Saya tidak mampu dan tidak mau menyembunyikannya,” kata dia.

Lihat Juga  Lion Air Paksa Anak Kecil Bawa Barang Sendiri ke Kabin

Maka bagi rakyat, kata dia, jadikan itu semua sebagai catatan bahwa ada cacat moral yang terwarisi dalam kehidupan bangsa dan ada masalah dalam kepemimpinan negara. “Selebihnya kita menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Adil,” kata dia.

Untuk itu, kata dia, jika ada protes soal hasil putusan MK agar dilakukan secara baik dengan senantiasa memelihara persaudaraan kebangsaan. “Perjuangan menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran tidak boleh berhenti mengkritik,” ujar Din.

Terpisah, Prabowo Subianto akan menempuh langkah hukum lain menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilprs 2019. MK sebelumnya telah menolak semua gugatan yang diajukan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi seputar dugaan kecurangan Pilpres.

“Sesudah ini kami akan segera berkonsultasi dengan tim hukum untuk meminta saran dan pendapat apakah masih ada langkah hukum dan langkah konstitusional lainnya yang mungkin kita dapat tempuh,” kata Prabowo setelah mendengar putusan MK, Kamis (26/7).

Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua saat demo di depan MK bahkan mengatakan lebih spesifik lagi. Dia menyatakan akan melaporkan hasil keputusan MK ke peradilan internasional.

Lihat Juga  PLN: Transisi Energi Bikin Ekonomi RI Bergeliat dan Kesejahteraan Melesat

“Kita akan lakukan pelaporan ke peradilan internasional, karena mereka bisa audit forensik terhadap IT KPU bagaimana bentuk-bentuk kecurangan situng,” kata Abdullah usai melakukan aksi halal bihalal Persaudaraan Alumni 212 di Jakarta dikutip Antara.

Mengutip laman resmi Mahkamah Internasional, Mahkamah ini merupakan organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan berdasar Piagam PBB. Pagam ini ditandatangani pada tahun 1945 di San Francisco (Amerika Serikat), dan mulai bekerja pada tahun 1946 di Istana Perdamaian, Den Haag (Belanda).

Pengadilan, yang terdiri dari 15 hakim, bertugas untuk menyelesaikan perselisihan hukum antara Negara sesuai dengan hukum internasional. Kedua, untuk memberikan pendapat tentang masalah hukum yang dirujuk oleh organ resmi dan badan khusus PBB yang berwenang.

Hanya Negara yang berhak tampil di hadapan Pengadilan dalam kasus-kasus yang kontroversial. Pengadilan tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani tuntutan dari individu, organisasi non-pemerintah, perusahaan atau entitas swasta lainnya.

Peradilan juga tidak dapat memberi nasihat hukum atau membantu sengketa hukum yang berurusan dengan otoritas nasional negara tersebut. Akan tetapi, suatu Negara dapat mengambil kasus salah satu warganegaranya dan mengajukan gugatan kepada Negara lain.

Berdasarkan data Mahkamah Internasional, ada 3.674 keputusan yang telah dikeluarkan Mahkamah sejak beroperasi pada 1946 hingga 2015. Kesemuanya merupakan sengketa antar negara. (nim)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker