Uncategorized

ICW Temukan 85 Kasus Kekosongan Obat di 4 Kota

MataPublik.co, JAKARTA –  Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan 85 kasus kekosongan obat di empat kota, yakni Banda Aceh, Medan, Serang dan Blitar. ICW melakukan pemantauan sejak Juli hingga Desember 2018 dengan jumlah 100 pasien di setiap kota.

Peneliti ICW Dewi Anggreini mengatakan kekosongan obat di sejumlah RSUD dan rumah sakit swasta itu menyebabkan pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terutama penerima bantuan iuran (PBI) harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan obat dari tempat lain.

Dari temuan tersebut, ICW menyebut ada potensi kecurangan dalam proses penyediaan obat. Salah satu potensi kecurangan itu, lanjut Dewi, terdapat dalam proses perencanaan pengadaan obat. “Dalam perencanaan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) tidak akurat sehingga diduga dapat mencari keuntungan dari kekosongan obat,” ujar Dewi di Jakarta Pusat, Selasa (26/2).

Selain dalam perencanaan, Dewi mengatakan potensi kecurangan terjadi dalam pengadaan obat. Tidak semua obat yang tercantum dalam formularium nasional (fornas) ada dalam katalog elektronik (e-katalog). Akibatnya, hal ini menyebabkan pihak rumah sakit harus melakukan pengadaan obat tambahan.

Proses itu dimulai dengan pengadaan anggaran yang menurut ICW memiliki celah untuk dilakukan kecurangan. “Tidak semua ada di e-katalog. Beli obat yang mau kadaluarsa, harga lebih murah. Jeda harga ini yang dimanfaatkan pejabat,” ujar Dewi.

Selain itu, ICW juga menjelaskan potensi kecurangan dalam pengelolaan obat. Potensi tersebut ada pada resep yang tidak sesuai formularium, jumlah obat yang tidak sesuai, pencatatan manual tentang penggunaan obat oleh pasien dan praktik memberi imbalan kepada dokter yang berhasil menjual obat di luar ketentuan fornas.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Departemen Manajemen Anti-Fraud Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Elsa Novelia, mengatakan pihaknya tidak memungkiri ada laporan soal kekosongan obat dan terkait dengan pembayaran yang memberatkan pasien JKN PBI. Ia menjelaskan dari data yang diterima BPJS Kesehatan terdapat penurunan laporan kekosongan obat yakni 487 keluhan pada 2017 menjadi 233 keluhan pada 2018.

Lihat Juga  Pemkot Ajak Komunitas Pengendara Tertib Lalu Lintas

Terkait dengan pengeluaran biaya oleh pasien, Elsa mengatakan dari hasil penelitian BPJS Kesehatan, saat ini presentasi biaya pengeluran untuk obat masih besar. Hal ini menurutnya menjadi tugas pemerintah dan lembaga terkait untuk terus memperbaikinya.

“Kalau kita lihat komponen pelayanan di rumah sakit, 46 persen biaya out of pocket dari data penelitian ini dibayarkan untuk komponen obat. Kita punya PR besar untuk perbaiki obat ini sehingga peserta sampai keluarkan biaya,” ujar Elsa.

Namun Elsa juga menjelaskan BPJS telah berkomitmen dengan fasilitas kesehatan untuk tidak mengadakan obat dengan pemberatan biaya tambahan ke pasien. Ia menjelaskan fasilitas kesehatan harus segera mengajukan klaim ke BPJS atas pengadaan tersebut agar biaya yang dikenakan kepada pasien bisa dikembalikan. “Sebenarnya mungkin lebih ke komitmen faskes untuk pengadaan. BPJS sudah membuat kontrak dengan faskes, tidak boleh mengenakan biaya di luar ketentuan. Kalau ditemukan, harus dikembalikan,” jelasnya.

Anggota Direktorat Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syahdu Winda mengatakan potensi korupsi pada tata kelola obat telah berkurang sejak sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diterapkan pada 2014. Hal ini berdampak pada turunnya persentase biaya belanja obat secara signifikan.

Winda menjelaskan persentase biaya belanja obat sebelum diterapkannya JKN mencapai 40 persen. Namun setelah diterapkannya sistem JKN, presentase itu menurun. “Dulu sebelum JKN, proporsi belanja obat 40 persen. Setelah JKN, sekarang itu bergerak proporsi belanja obat kita dari biaya pengobatan sudah 20-an persen,” kata Winda.

Lihat Juga  Tunjangan Ketua RT dan RW Bakal Cair Oktober Ini

Dalam paparannya, Winda mengatakan penerapan JKN telah mengubah paradigma dalam sistem pengadaan obat. Ia menjelaskan faktor yang mempengaruhi turunnya potensi kecurangan dalam tata kelola obat. Salah satunya, sistem JKN yang membantu menetapkan fornas obat untuk mengendalikan mutu dan biaya kesehatan.

Selain menetapkan mutu dan biaya, JKN juga menginisiasi pengadaan obat melalui katalog elektronik (e-katalog). Hal ini, lanjutnya, dapat meminimalisasi praktik korupsi yang rawan terjadi dalam pengadaan obat secara konvensional. “E-katalog bisa meminimalisasi kerawanan secara signifikan, karena untuk pengadaan konvensional cenderung sulit kita kendalikan,” papar Winda.

Namun Winda tidak memungkiri selama ini pihak fasilitas kesehatan atau rumah sakit masih memiliki kekurangan dalam mengajukan rencana kebutuhan obat (RKO). Ia tetap mendesak pihak fasilitas kesehatan lebih disiplin untuk mendata kebutuhan obat dan belanja obat agar bisa mengurangi potensi kecurangan dari u0aya yang dilakukan fasilitas kesehatan itu sendiri.

Selain itu, Winda memaparkan hasil kajian KPK pada 2016 lalu. Pemaparan itu menunjukan baru 59 persen rumah sakit pemerintah dan dua persen rumah sakit swasta yang mengajukan RKO. Sementara itu, potensi korupsi yang masih tinggi ada pada pengadaan alat kesehatan. Hal ini, lanjutnya, karena sebagian pengadaan alat kesehatan masih belum ditunjang oleh katalog elektronik. “Pengadaan alat kesehatan masih menjadi modus yang paling banyak dikorupsi,” ujarnya. (iuy)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker