Karena Warisan, Ibu Digugat Empat Anak Kandungnya
MataPublik.co, BANDUNG – Lagi dan lagi, seorang ibu kandung digugat oleh anak kandungnya. Cicih (78), seorang ibu yang terlihat tegar meski mendapatkan cobaan yaitu digugat oleh keempat anak kandungnya.
Wanita paruh baya ini terlihat renta itu tinggal di Jalan Embah Jaksa, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung.
Saat didatangi, Cicih mengenakan kerudung biru dengan baju lengan panjang warna putih agak kemerahan dan celana panjang hijau. Tampak kulitnya sudah keriput. Lipatan garis di kening wanita yang akrab dipanggil nenek oleh keluarganya itu pun terlihat jelas.
Cicih kemudian duduk di sebuah sofa panjang ditemani anak bungsunya, Alit Kamila (46) yang turut turut tergugat.
Cicih mengaku seumur hidup baru kali ini ia menginjakkan kakinya di pengadilan. Yang mirisnya, Cicih berurusan di pengadilan karena anak-anaknya sendiri. Ia digugat oleh empat anak kandungnya dari pernikahan Cicih dengan almarhum S Udin (80).
Wanita renta ini mengaku kaget saat menerima panggilan pengadilan. Cicih digugat keempat anak kandungnya karena dituduh menjual tanah yang diwariskan suaminya tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Padahal sebelumnya cicih sempat mendatangi anaknya untuk mengkomunikasikan hal tersebut.
“Sebelum mau saya jual, ibu sebagai orangtua mendatangi anak-anak ibu. Ibu datangi Aji Rusbandi, tapi saat itu tidak ada, Ibu hanya ketemu dan bicara sama istrinya. Ibu juga datangi Ai Sukawati, dan dia mempersilakan rumah itu dijual. Tidak ada masalah, tapi Ibu malah digugat,” kata Cicih seperti dilansir dalam laman kompas.com.
Adapun tanah yang dijual tersebut merupakan haknya sebagai pewaris. Cicih mendapatkan warisan itu dari suaminya. Ia pun lantas memperlihatkan bukti surat waris dari almarhum suaminya yang ditandangani di atas materai pada tanggal 4 Januari 2006, dengan saksi ketua RT dan RW setempat yang juga ikut membubuhkan tanda tangannya dalam surat waris tersebut.
Sebidang tanah yang dijual Cicih seluas 91 meter persegi dari luas 332 meter persegi yang menjadi haknya. Tanah tersebut dijual Cicih kepada seorang bidan yang sebelumnya mengontrak di rumahnya. Hal tersebut terpaksa dilakukan Cicih lantaran dirinya membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Pasalnya ketika suaminya meninggal, Cicih hanya mengandalkan uang pensiun sebesar Rp 1,2 juta dan uang dari hasil kontrakan untuk kebutuhan hidupnya. Uang itu pun tak digunakan sendiri, melainkan juga untuk mengurusi keempat cucunya yang tinggal bersamanya.
“Awalnya ibu Iis ini ngontrak, tapi karena ibu perlu uang untuk kebutuhan sehari-hari dan kebetulan ibu bidan (Ibu Iis) butuh tempat juga ya sudah akhirnya di-acc, dijual sama ibu ke ibu Iis seharga Rp 250 juta. Rumah yang dijual itu yang di depan ini,” katanya.
Dari hasil penjualan rumah yang menjadi hak miliknya tersebut, Cicih bahkan tak menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Uang itu sebagian dipakai untuk merenovasi rumah lainnya yang tidak jauh dari kediaman Cicih. Sisanya untuk keperluan sehari-hari, membiaya cucu-cucunya hingga membayar utang.
“Uangnya tidak semua saya makan, tapi buat renovasi rumah buat anak ibu, biar setelah ibu tidak ada nanti mereka punya tempat tinggal. Juga membiayai cucu-cucu saya. Ada empat cucu yang tinggal di sini, yang satu bahkan sampai lulus SMK dan ada juga yang dari bayi. Semuanya saya rawat. Karena kalau mengandalkan uang pensiun tidak akan cukup, pakai listrik saja mungkin sudah habis,” jelasnya.
Cicih mengaku sedih atas sikap anak-anaknya yang menggugat ibunya sendiri. Kendati demikian, Cicih tetap menerima gugatan tersebut dengan lapang dada.
“Sedihnya itu mengkhawatirkan sama anak ibu, takutnya ibu kelepasan bicara atau gimana yang menjadi apa-apa kepada anak ibu. Ibu itu menjaga itu saja. Ibu memaafkan, kalau sayang tetap sayang, enggak ada dendam,” tuturnya.
Setiap hari Cicih malah berdoa kepada Tuhan untuk kesehatan dan kelancaran rezeki anak-anaknya tersebut.
“Enggak sakit hati, saya hanya terus berdoa setiap waktu meminta kepada Allah agar (anak-anak) disolehkan, dan dilancarkan rizkinya, sehat dan selamat. Makanya saya maafkan,” katanya.
Cicih berharap, ke depannya, ia dan anak-anaknya bisa kembali berkumpul bersama dan hidup harmonis.
“Ke depannya ibu pengen harmonis bagaimana caranya dengan anak, seperti anak dan ibu,” katanya.