Kasus ‘Oknum Aparat di Pematangsiantar’: Tolong Manusiakanlah Kami Layaknya Manusia
Nur Fauzi Ramadhan, Direktur Polhukam Asah Kebijakan Indonesia, Pemerhati isu disabilitas.

MEDAN – Baru-baru ini, viral video yang memperlihatkan seorang pria diseret hingga terjatuh yang dilakukan oleh oknum petugas keamanan di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Peristiwa itu terjadi di Jalan Sutomo, tepat di depan toko Roti Ganda, pada Jumat (13/6/2025). Belakangan diketahui bahwa pria tersebut merupakan seorang gelandangan dan pengemis (gepeng) tunanetra.
Tentu peristiwa tersebut mendapatkan banyak kecaman dari netizen. Bagaimana tidak, apa yang dilakukan oknum tersebut sejatinya tidak menggambarkan unsur kehati-hatian, tidak ada empati, bahkan tidak ada rasa saling respect terhadap martabat sesama manusia.
Peristiwa ini bukan hanya melanggar prosedur kerja penertiban yang seharusnya dilakukan oleh aparat. Lebih jauh dari pada itu, peristiwa ini menunjukan bagaimana absennya empati, rasa saling mengayomi, dan salin gmemanusiakan manusia di dalam benak aparat yang sedang menjalankan tugas.
Bisa dibayangkan bagaimana seorang dengan keadaan memiliki disabilitas netra diperlakukan dengan cara diseret, dipukul, dan digiring oleh aparat. Dengan kondisi tersebut, tentu posisi si disabilitas netra sangat sulit untuk melakukan perlawanan. Lalu mengapa perlakuan yang tidak manusiawi tetap dilakukan oleh oknum aparat? Tentu saja secara akal sehat hal demikian bukankah dilakukan dengan amat sangat tidak proporsional?
Maka dari itu, sanksi tegas berupa pembinaan perlu kiranya dijatuhkan kepada oknum aparat yang terdapat dalam video. Hal demikian juga perlu dilakukan agar menjadi efek jera bagi aparat agar menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur dan hati nurani.
Menjadi sangat miris kejadian terjadi di tengah kampanye dan upaya serius yang dilakukan oleh pemerintah untuk memanusiakan sesama manusia dengan perspektif hak asasi manusia. Perspektif ini memandang individu dengan disabilitas sebagai bagian dari masyarakat yang harus dimanusiakan, termasuk pula melindungi, memenuhi, dan menghormati hak-hak dari individu dengan disabilitas.
Peristiwa ini juga mengingatkan baik pemerintah, masyarakat, penegak hukum, dan kita sebagai masyarakat biasa bahwa disabilitas bukanlah masyarakat kelas dua, disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya, kondisi spesial yang dimiliki oleh disabilitas bukan berarti bebas untuk memperlakukan mereka dengan ‘tidak secara layaknya manusia’.
Penyandang disabilitas juga berhak untuk hidup, memperoleh pendidikan, mendapatkan pekerjaan, berkumpul, dan juga termasuk untuk menentukan apa yang dikehendakinya. Selain itu, yang amat sangat penting ialah penyandang disabilitas juga harus terlepas dari stigma yang ada di masyarakat.
Adanya stigma ini yang menyebabkan disabilitas tidak mendapatkan haknya secara optimal. Padahal, apabila menggunakan paradigma hak asasi manusia yang saat ini menjadi pendekatan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan disabilitas, maka fokus yang harus dilakukan ialah menyediakan pemenuhan hak bagi mereka.
Misalnya, alih-alih menganggap disabilitas sebagai orang yang tidak berpendidikan dan cenderung menyulitkan dalam proses di masyarakat, negara di sini harus hadir untuk mereka. Caranya bagaimana? Salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan supaya mereka memiliki keahlian dan dapat berkontribusi di masyarakat.
Memang hal demikian di lapangan tidaklah mudah. Acapkali menghadapi penyandang disabilitas memerlukan pendekatan tertentu dan mungkin khusus. Mengapa begitu? Sebagai penyandang disabilitas yang juga sering berhubungan dengan sesama penyandang disabilitas lainnya, saya tidak menafikan bahwa terkadang penyandang disabilitas memiliki persepsi sehingga membentuk perilaku yang mungkin sulit untuk diterima oleh orang kebanyakan.
Tetapi apapun itu, hal demikian bukan berarti mengabsenkan mereka dari pelayanan negara. Karena tak dapat dipungkiri, keadaan disabilitas seperti demikian disebabkan karena lingkungan tempat mereka tumbuh dan berkembang.
Menurut data Bappenas di tahun 2025 ada sekitar 11,46 persen penyandang disabilitas yang berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen.
Terbaru, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada tahun ini menunjukan bahwa meskipun pemerintah sudah memiliki program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi), namun kondisi tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dengan disabilitas. Lebih jauh, dalam hasil penelitian tersebut menunjukan fakta bahwa rumah tangga dengan anggota penyandang disabilitas lebih rentan sekaligus memiliki probabilitas peningkatan kemiskinan secara multidimensional, baik dari segi angka kemiskinan maupun intensitas deprivasi.
Artinya, kondisi disabilitas mengakibatkan mereka rentan untuk menjadi meskin baik secara stuktural dan kultural. Kemiskinan stuktural di sini disebabkan karena sistem dan stuktur sosial yang mengakibatkan mereka sulit untuk mendapatkan layanan dasar dan sumber daya dasar seperti ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
Kemiskinan stuktural ini mendorong terjadinya kemiskinan kultural. Maksudnya, individu dan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas di dalamnya bisa menjadi miskin karena pola pikir dan lingkungan sekitar yang menyebabkan mereka menjadi miskin.
Kondisi yang terjadi di Pematangsiantar menunjukan bagaimana adanya masalah stuktural dan kultural secaera bersamaan yang dialami oleh penyandang disabilitas. Alih-alih berlaku kasar terhadap mereka, aparat sudah seharusnya menggunakan cara-cara yang humanis. Lagi pula, kondisi yang dialami oleh penyandang disabilitas itu ‘mungkin’ tidak pernah dikehendaki oleh yang bersangkutan.
Maka sudah seharusnya negara benar-benar hadir dan berkaca dari kasus ini. Bagaimana caranya?
Pertama, pihak terkait perlu memberikan sanksi terhadap oknum yang ada di video tersebut. Sebagaimana yang telah saya singgung pada bagian sebelumnya, hal ini menjadi penting agar dapat menjadi efek jera bagi aparat dan mendorong aparat lainnya untuk mengindahkan prosedur dan empati ketika bertugas. Tentu hal ini bukan hanya ketika menangani orang dengan disabilitas saja, namun terhadap semua urusan yang dilakukan baik ketika menjalankan tugas penertiban ataupun tugas-tugas lainnya.
Kedua, harus disosialisasikan kembali prosedur ‘dalam rangka menghadapi disabilitas’. Kondisi spesial yang dialami oleh penyandang disabilitas membuat perlunya ada pendekatan khusus dalam menghadapi mereka, tanpa terkecuali ketika mereka harus berhadapan dengan hukum. Tentu dalam hal ini perlu berperspektifkan dengan disabilitas itu sendiri.
Ketiga, perlu adanya upaya yang menyeluruh untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dialami oleh disabilitas. Sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya, akibat kondisi disabilitas, dapat membawa individu terjebak pada kemiskinan stuktural dan kultural dalam waktu yang relatif bersamaan. Tentu ‘lingkaran setan’ ini perlu diputus dengan cara melakukan pendekatan khusus dan humanis. Perlu adanya kerjasama lintas disiplin untuk mendorong hal ini.
Keempat dan terakhir, perlu adanya upaya dari seluruh pihak untuk menghapuskan stigma terhadap disabilitas. Alih-alih menghakimi perilaku ataupun kondisi dari disabilitas, lebih baik untuk memberikan kesempatan untuk berkembang.
Di akhir, sebagai penyandang disabilitas di sini saya perlu menekankan, bahwa jangan jadikan keadaan kami sebagai individu yang patut untuk dikasihani. Kami perlu untuk diberikan peluang dan kesempatan yang sama di masyarakat. Walau dengan kondisi kami pun, kami juga ingin ikut serta sebagai ‘subjek’ alih-alih hanya dijadikan sebagai ‘objek’ dalam pembangunan bangsa.
Peristiwa yang terjadi di Pematangsiantar menunjukan pada kita bahwa ini bukan hanya soal prosedural yang tidak tepat dari oknum aparat. Jauh dari itu, ada banyak persoalan sistemik yang ada berkenaan dengan disabilitas yang menjadi pr ‘pemerintah’, pemerhati isu disabilitas, dan kita semua. (SDN)