Komunis Cina Sebut Puasa Ramadhan Tanda Ekstremisme
MataPublik.co, XIANJIANG — Saat umat Islam di seluruh dunia tengah bersukacita menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan dengan khusyuk, tidaklah demikian dengan saudara muslim lainnya di Cina.
Otoritas komunis Cina kembali melakukan tindakan keras terhadap tuntunan agama atas puasa dan sejumlah praktik keagamaan oleh umat Islam di sana. Puasa dan praktek lain yang berafiliasi keagamaan dinilai sebagai “tanda-tanda ekstremisme”
Menurut pantauan organisasi Human Rights Watch dan para aktivis kemanusiaan, pembatasan itu terutama diberlakukan di Provinsi Xinjiang yang mayoritas penduduknya Muslim. Nah, untuk melakukan pengawasan, perwakilan otoritas Cina seringkali tinggal di rumah keluarga Muslim untuk menekan kegiatan keagamaan mereka.
Amnesty International mengatakan dalam sebuah laporan yang dirilis akhir pekan lalu, otoritas Cina memandang puasa Ramadhan – bersama dengan aktivitas lain yang berafiliasi keagamaan termasuk jenggot, jilbab, sholat 5 waktu sebagai “tanda ekstrimisme”. Bahkan, larangan mengkonsumsi alkohol termasuk tanda ektrimisme.
“Semua ini bisa membuat Anda berada di salah satu kamp penataran Xinjiang, yang oleh pemerintah disebut ‘pusat transformasi-melalui-pendidikan’,” kata laporan itu seperti dilansir ABC News, Rabu (8/5).
Pemerintah Cina telah lama memandang agama terorganisir sebagai ancaman terhadap kesetiaan partai, menjaga kontrol ketat pada semua kelompok agama. Kebijakan ini membuat minoritas Muslim di wilayah Xinjiang menanggung beban tindakan keras yang jauh lebih agresif dan represif dari militer Cina.
Alip Erkin, seorang aktivis media dari Buletin Uyghur, mengatakan, meski pembatasan puasa Ramadhan di sekolah dan kantor pemerintah telah ada selama beberapa dekade. Pengawasan dan penahanan massal telah meningkat selama tiga tahun terakhir dalam upaya untuk menghentikan keluarga di sana untuk menjalan tuntutan agamanya bahkan di rumah mereka sendiri.
Erkin mengatakan umat Islam di Xinjiang sekarang ini dibayang-bayangi kekhawatiran akan dikirim ke kamp-kamp penahanan “jika mereka terlibat dalam kegiatan keagamaan atau mengungkapkan identitas agama atau budaya tradisional mereka”.
ABC News menghubungi kantor Administrasi Urusan Agama Nasional Cina untuk memberikan komentar, tetapi tidak ada tanggapan. Pihak berwenang Cina sebelumnya mengatakan, pihak mereka tidak membatasi praktek Ramadhan, tapi pada kenyataan di lapangan hal itu tidak terbukti.
Pada tahun 2016, Dewan Negara China menerbitkan sebuah dokumen berjudul Kebebasan Beragama di Xinjiang, yang mengatakan “perasaan dan kebutuhan agama warga negara dihormati sepenuhnya”. Namun, pembatasan kegiatan keagamaan terpampang jelas di web situs pemerintahan Cina. “Pada tahun 2014, larangan itu semakin intensif,” kata Erkin.
“Mereka mulai mengumpulkan orang-orang di tempat kerja dan sekolah mereka dan memberi mereka makan siang untuk memastikan mereka tidak berpuasa,” ujarnya.
Tindakan keras terhadap kebebasan beragama di rumah juga telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Meski ada pembatasan ketat di lembaga pemerintah di seluruh Cina selama 2014 dan 2015, Erkin mengatakan keluarga masih diberi kebebasan beragama di rumah. ”Ayah saya, yang adalah seorang pengusaha dan tidak memiliki koneksi ke Pemerintah, dulu bisa berpuasa di rumah tanpa batasan,” kata Erkin.
Tetapi pada Mei 2017 semua itu berubah, katanya, dan ayahnya yang adalah seorang Muslim yang taat kini ditahan.
Pada tahun yang sama, laporan-laporan tentang penawanan massal mulai muncul dan pengawasan ditingkatkan. PBB memperkirakan hingga 1 juta warga Uyghur dan kelompok Muslim lainnya telah ditahan di kamp-kamp penataran di Provinsi Xinjiang sejak 2017.
Kamera dan perekam audio kini ditemui di setiap jalan dan memantau pintu banyak rumah. Pagar penjagaan di kamp penahanan, yang secara resmi disebut pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang.
Pejabat pemerintah juga mulai melakukan “kunjungan rumah” rutin di Xinjiang di mana “keluarga diharuskan untuk memberikan informasi kepada petugas tentang kehidupan dan pandangan politik mereka, dan menjadi sasaran indoktrinasi politik”, menurut laporan Human Rights Watch dari Mei tahun lalu.
Aileen, 37, seorang Muslim Hui dari Provinsi Gansu, mengatakan para pejabat secara rutin menggeledah rumah dan tinggal bersama keluarga di Xinjiang selama sekitar satu minggu “untuk memastikan tidak ada praktik keagamaan di dalam rumah itu”.
Jika barang-barang seperti sajadah atau buku-buku keagamaan ditemukan, mereka biasanya ditahan, kata Aileen yang meminta agar dikutip nama depannya saja untuk melindungi anggota keluarga yang masih tinggal di Cina. (epj)