Periode Jabatan Presiden Diperpanjang, Buka Peluang Otoriter
MataPublik.co, Jakarta – Kehadiran partai oposisi dinilai penting untuk menolak wacana presiden tiga periode melalui amendemen UUD 1945. Karena itu, peran partai oposisi sangat strategis untuk mencegah sistem pemerintahan yang otoriter melalui perpanjangan periodisasi presiden.
Di lain sisi, wacana sistem pemilihan presiden (pilpres) lewat MPR juga kembali mengemuka. Dua isu ini dianggap membahayakan demokrasi di Indonesia. Karena itu, oposisi sangat diperlukan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Ester menyerukan agar masyarakat menolak pemilihan presiden dan wakil presiden melalui MPR dan menolak perpanjangan masa jabatan presiden. “Ketika kepala negara bisa diperpanjang lebih dari dua kali, itu memastikan bahwa peluang otoriter akan terjadi,” kata Lola dalam PKSMuda Talks di Kantor DPP PKS, kawasan Jakarta Selatan, Jum’at (29/11).
Ia menyatakan, wacana tersebut selain memacu lahirnya rezim otoriter juga sangat kontraproduktif dengan amanat demokrasi Indonesia. “Itulah kenapa jadi penting suara oposisi agar wacana ini tidak dilanjutkan,” ujarnya.
Senada, Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Fathul Bari menyebut wacana perpanjangan periode masa jabatan presiden dan wakil presiden melalui amendemen UUD 1945 sebagai kemunduran demokrasi. PKS, kata dia, sebagai partai yang lahir dari rahim reformasi, menolak hal itu dimasukan kedalam konstitusi. “Jika itu terjadi, kita malah menjadi setback, ada kemunduran demokrasi,” katanya.
Menurut dia, sikap penolakan PKS terhadap periodisasi masa jabatan Presiden dan Wakil seiring dengan sikap penolakan PKS terhadap wacana amendemen konstitusi. Ia menyatakan, PKS tegas menolak amendemen konstitusi walaupun wacana ini digulirkan harus berdasarkan kehendak rakyat.
“Saat ini belum ada hal-hal yang sangat mendesak (amendemen), apalagi isu amandemen GBHN (garis-garis besar haluan negara) sudah terakomodir dalam RPJP (rencana pembangunan jangka panjang),” ujarnya. (aza)