DENGAN merujuk kepada ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi, jihad berasal dari kata juhd yang berarti kemauan dan kesukaran. Sebagai misal adalah jaahada yujaahidu jihaadan au mujahadah, yaitu, apabila seseorang mengerahkan segenap kemampuannya serta menanggung segala kesukaran dalam memerangi musuh dan mengenyahkannya.
Adapun jihad per definisi adalah, “Upaya maksimal untuk menghadapi serangan musuh.” Dalam Al-Quran, kata jihad sedikitnya ada dalam 49 ayat. Jihad punya dua makna: umum dan khusus.
Jihad dalam pengertian umum adalah suatu usaha yang maksimal untuk menerapkan ajaran Islam, beramar ma’ruf nahi mungkar, baik untuk pribadi, keluarga, maupun untuk publik. Jihad dalam pengertian umum ini bisa dilakukan dengan fisik, lisan, dan batin.
Selain dalam pengertian umum, jihad juga punya pengertian khusus. Yakni, memerangi kaum kafir guna tegaknya Islam. Para ulama fikih, seperti Imam Syafi’i misalnya, membahas makna jihad dalam pengertian peperangan dan ekspedisi militer.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam punya cara tersendiri dalam mendidik para sahabatnya tentang jihad. Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, “Tidak ada seorang Nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala pada umat sebelumku, kecuali ia mempunyai para sahabat setia dari umatnya, yang mengambil sunnah dan melaksanakan perintahnya. Kemudian setelah mereka (para sahabat itu) datanglah para pengganti yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, dan melakukan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Barangsiapa melakukan jihad kepada mereka dengan tangannya maka ia adalah seorang mukmin, dan barangsiapa melakukan jihad terhadap mereka dengan lisannya maka ia adalah seorang mukmin, dan barangsiapa melakukan jihad terhadap mereka dengan hatinya maka ia adalah seorang mukmin, dan tidak ada setelah itu (jihad dengan hati) keimanan sebiji sawi pun.”
Adapun jihad yang “paling utama”, sebagaimana hadits yang dikeluarkan Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasa’i, “Adalah kalimat yang adil di hadapan penguasa yang lalim, atau pemimpin yang zalim.” (Dalam sanadnya, ada nama ‘Athiyah Al-‘Aufa yang dinilai oleh kritikus hadis, lemah). Karena itu, oleh para aktivis yang berfaham jihad adalah aktivitas fisik melawan kemunkaran, hadits tersebut tak pernah jadi acuan.
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i meriwayatkan, “Barangsiapa mati dan tidak berperang, serta tidak mengatakan kepada dirinya sendiri untuk perang, maka ia mati dalam satu cabang dari kemunafikan.”
Tentu, bagi mereka yang meminta mati syahid kepada Allah dengan tulus ikhlas karena-Nya, maka Allah pun akan memberinya pahala. Imam Muslim, Nasa’i, Abu Daud, dan Ahmad meriwayatkan, “Barangsiapa meminta kepada Allah syahadah dengan benar, maka Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada walaupun ia mati di atas tempat tidurnya.”
Hadits-hadits tersebut menunjukkan kepada kita, betapa dimensi jihad itu sangatlah luas. Dari fisik, lisan, sampai hati. Inilah yang harus dipahami bersama, agar umat bisa melaksanakan secara seimbang.
Dalam hal jihad secara khusus, pengertiaannya tidak hanya memerangi kaum kafir yang mengusir kaum muslimin dari rumah-rumah mereka saja. Tapi jihad juga punya pengertian mempersiapkan kebutuhan para prajurit, memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak para laskar tersebut, baik mereka yang pulang dalam keadaan hidup maupun yang pulang hanya namanya saja (menjadi syuhada).
Di sinilah diperlukannya manajemen, agar mereka yang ditinggalkannya ada yang mengurusinya. Berjihad memang bisa dilakukan secara individual, tetapi ia akan lebih baik lagi bila dilakukan melalui sebuah institusi. Dengan adanya institusi tersebut, segala sesuatunya, baik untuk kepentingan yang berjihad maupun keluarga yang ditinggalkannya, ada yang mengurus, baik selama maupun pasca jihad –khususnya setelah sang mujahid menjadi syuhada.
Adapun jihad dalam pengertian khusus diijinkan oleh Allah setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim di Madinah. Selama 13 tahun di Mekkah, belum ada perintah berjihad dengan cara perang. Ketikan di Makkah itu, dakwah dalam keadaan sembunyi-sembunyi, karena kekuatan kaum muslimin belum memungkinkan untuk melakukan perlawanan dengan kekuatan militer. Barulah setelah hijrah ke Madinah, dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilakukan secara terang-terangan, dan perang, karena musuh selalu menganggu dan membuat onar atas orangt-orang Islam.
Surah al-Hajj ayat 39-40 menginformasikan kepada kita, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, ‘Tuhan kami hanyalah Allah’ …”
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah didatangi oleh seorang pemuda yang minta izin untuk berjihad guna meraih pahala besar di sisi Allah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak langsung mengiyakan, terjadilah dialog di antara mereka. “Apakah engkau punya salah satu dari kedua orangtuamu yang masih hidup?”
“Ya, keduanya masih hidup,” jawab sang pemuda.
“Dan engkau akan mencari pahala dari Allah?”
“Ya.”
“Kalau begitu, kembalilah kepada orangtuamu, dan pergauilah keduanya dengan baik.” (di lain redaksi disebutkan, “Maka kepada keduanya, berjihadlah kamu.”)
Jadi, dalam berjihad, ada alasan yang dibenarkan secara syariat. Ketika jihad tak lagi diajarkan di dalam pelajaran agama, maka hal itu akan melemahkan generasi muda dalam membela agamanya! (HMJ)