PESATNYA perkembangan hoaks di media sosial merupakan fenomena yang terjadi di dunia maya. Masyarakat dengan mudah mengakses dan menyebarkan informasi melalui media sosial sehingga menimbulkan beragam opini. Sebaliknya, Penyebaran berita hoaks juga mampu membawa kerancuan informasi dan kehebohan publik akan suatu informasi, bahkan dapat berakibat lebih jauh lagi disintegrasi bangsa.
Masyarakat yang memiliki tingkat literasi yang rendah akan rentan terpapar berita hoaks. Hal itu ditandai dengan sikap masyarakat yang tidak mempertimbangkan dan memeriksa kebenaran suatu berita.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoax ditulis menjadi hoaks diartikan sebagai informasi bohong. Fenomena hoaks jika dibiarkan akan memberikan dampak negatif berupa, berita hoaks menyebabkan masyarakat sulit mengetahui ketepatan suatu informasi, terjadi kesalahpahaman hingga merusak kesatuan dan persatuan di antara masyarakat.
Serta upaya menggiring opini publik yang provokatif sehingga berakibat pada masyarakat, berita hoaks disebarkan dengan tujuan untuk menjatuhkan salah satu pihak. Sehingga menyebabkan adu domba di antara masyarakat. Dan jelas lagi, hoaks ditujukan untuk menciptakan keresahan publik.
Berita hoax atau ujaran kebencian di media sosial merupakan pelanggaran dalam Pilkada maupun Pemilu. Maka itu, perlu penegakan hukum yang menyeluruh mulai dari segi substansi, struktur dan budaya hukum.
Disinilah sejumlah pihak banyak mengingatkan peran Bawaslu, bahwa pengawasan terhadap media sosial dinilai akan menjadi tantangan berat. Terlebih selama masa kampanye. Ditambah banyaknya akun media sosial yang tidak terdaftar di KPU menjadi tantangan dalam pengawasan konten internet selama masa Pemilu.
Ditambah lagi, penggabungan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Legislatif mempunyai konsekwensi rawan terhadap kecurangan, penyebaran berita hoaks dan SARA.
Bawaslu sebagai lembaga diberi wewenang mengawasi setiap tahapan pemilu, juga mengantisipasi berita hoaks yang marak tersebar di media sosial dalam setiap tahapan pemilu. Hoaks yang didistribusikan melalui media sosial oleh oknum yang berkepentingan, dapat berupa dukungan terhadap pasangan calon yang didukungnya dalam suatu Pemilihan Umum (Pemilu) tertentu sehingga dapat menarik minat dan simpati masyarakat.
Selain hoaks, kerap kali momentum Pilkada dan Pemilu menjadi celah bagi oknum yang tidak bertanggungjawab untuk menyebarkan ujaran kebencian. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya rasa tidak puas terhadap proses maupun pasangan calon dalam Pilkada.
Sehingga pada akhirnya mendorong oknum tersebut untuk melakukan tindakan provokatif demi menguntungkan dirinya sendiri atau kelompoknya yang digerakkan melalui media sosial.
Dalam empat tahun terakhir, menurut data Indikator Politik Indonesia, jumlah pengguna internet di kalangan pemilih Indonesia mengalami lonjakan yang tajam. Pada Maret2014 ada sekitar 20% pengguna internet, meningkat dua kali lipat pada Maret 2018 menjadisekitar 40%, dan di akhir tahun 2018 menjadi sekitar 50%.
Pada Pilpres lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat 2.256 hoaks di berbagai platform media sosial sejak Agustus 2018-September 2019. Dari angka tersebut, 916 di antaranya tergolong hoaks politik.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia dalam laporannya mengungkapkan 997 hoaks pada 2018 dengan 488 diantaranya hoaks terkait politik.
Sedangkan Januari 2019 tercatat sebanyak 109 dengan 58 hoax bertema politik. pada pemilu 2019 banyak informasi politik yang kurang tepat disampaikan oleh para politisi. Tak hanya itu, sebaran hoax politik juga marak di media sosial saat pesta demokrasi berlangsung.
Sebagai upaya antisipasi, Bawaslu memperkuat kerja sama dengan beberapa lembaga negara. Misalnya dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) guna mengawasi konten internet dalam Pemilu 2019.
Hal itu untuk mencegah, mengawasi dan menindak konten hoaks dan ujaran kebencian terkait pemilu di internet. Untuk mengawasi terkait konten-konten di internet. Bawaslu turut menggandeng platform media sosial semisal: Facebook, Twitter hingga Instagram.
Dengan adanya kerja sama tersebut, Bawaslu memiliki kewenangan untuk meminta platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menonaktifkan akun yang mengandung kampanye tanpa harus melalui Kominfo terlebih dahulu.
Berita hoaks yang tersebar pada Pemilu tahun 2019 telah merusak integritas dan kredibilitas penyelenggaraan pemilihan umum. Selain itu juga merusak kredibilitas dan integritas politikus yang ikut berpartisipasi di dalamnya, termasuk telah menciderai nilai-nilai demokrasi.
Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tenteng Pemilu menempatkan satu bab khusus pengaturan partisipasi masyarakat tepatnya di bab XVII pasal 448 dan pada ayat 1 menegaskan bahwa, “Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat”. Bawaslu sangat sadar pentingnya partisipasi masyarakat oleh karena itu banyak program kegiatan pengawasan bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat.
Beberapa program fokus pengawasan, Bawaslu mengeluarkan gagasan pangawasan partisipatif. Ada 7 program pengawasan yang dikembangkan Bawaslu. Pertama, Aplikasi Gowaslu diluncurkan Agustus 2016. Sebuah aplikasi khusus memantau dan mengawasi pemilu yang dapat diunduh melalui playstore di aplikasi android.
Kedua, Bawaslu juga meningkatkan program partisipatif melalui pengelolaan media sosial. Pengawas pemilu melakukan transfer pengetahuan dan keterampilan sekaligus sosialisasi pengawasan pemilu dalam dunia maya guna mendorong pelibatan masyarakat dalam pengawasan Pemilu.
Bawaslu yakin media sosial bisa menjadi salah satu sarana media efektif dalam menyebarluaskan informasi dan pengetahuan pengawasan kepemiluan. Apalagi, hampir seluruh pengguna internet yang juga sebagian besar adalah anak muda dan pemilih pemula memiliki akun media sosial baik itu Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, dan lainnya.
Ketiga, Forum Warga Pengawasan Pemilu. Hadir dalam wujud pemberdayaan forum atau organisasi sosial masyarakat, baik melalui tatap muka atau melalui media internet agar turut serta dalam pengawasan partisipatif.
Keempat, Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu (GSRPP) yaitu gerakan pengawalan pemilu oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Gerakan tersebut diharapkan dapat mentransformasikan gerakan moral menjadi gerakan sosial di masyarakat dalam mengawal pemilu.
Kelima, Satuan Karya Pramuka (Saka) Adhyasta Pemilu yaitu satuan karya Pramuka yang merupakan wadah kegiatan pengawalan pemilu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis pengawasan pemilu bagi anggota Pramuka.
Keenam, Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu. KKN yaitu program pengabdian masyarakat oleh mahasiswa strata satu dalam pengawasan pemilu. Program pengabdian mahasiswa kepada masyarakat ini menjadi salah satu program terobosan yang dilakukan Bawaslu yang bekerjasama dengan perguruan tinggi.
Ketujuh, Pojok Pengawasan. Sebuah ruang di Gedung Bawaslu, Bawaslu Provinsi maupun Bawaslu Kabupaten/Kota bernama Pojok Pengawasan ini menjadi wadah sarana penyediaan informasi berbagai informasi tentang pengawasan pemilu.
Selain ketujuh program diatas, ada satu program yang mememiliki peran yang sangat strategis dalam pengembangan pangawasan partisifatif yaitu Sekolah Keder Pengawasan Partisifatif (SKPP).
Tujuan dari sekolah kader pengawasan ini adalah sebagai gerakan bersama antara Bawaslu dengan masyarakat untuk mewujudkan Pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif ini sebagai sarana transfer ilmu mengenai kepemiluan sebagai kader yang diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan terkhusus dalam pengawasan Pemilu. (***)
Penulis: Kawar Dante
Wartawan dan Penggiat Pemilu