Secara Kualitatif, Pemilu 2019 Indonesia Dinilai Terburuk di Dunia
MataPublik.co, JAKARTA — Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun, mengkritik pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo yang mengklaim pemerintahan Jokowi-JK berhasil menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) terbesar dalam sejarah dunia. Menurut Ubedillah, jika pendekatan Mendagri adalah kuantitatif, maka benar Indonesia menyelenggarakan pemilu serentak dan terbesar.
“Benar mencetak sejarah pemilu serentak terbesar di dunia karena hanya Indonesia yang menyelenggarakan model serentak seperti itu. Tapi ini sama saja, juara satu dalam suatu perlombaan dengan peserta lomba hanya satu,” kata Ubedillah kepada Indonesia Inside, saat dihubungi, Senin (15/7). “Dan juga karena Jumlah DPT (daftar pemilih tetap)-nya salah satu terbesar di dunia setelah Cina, Amerika dan India,” ujarnya melanjutkan.
Akan tetapi, jika diselisik dengan pendekatan kualitatif, Ubedillah berkesimpulan bahwa Pemilu Serentak 2019 Indonesia adalah pemilu terburuk di dunia karena hanya negara ini yang melakukanya. Menurut Ubedillah, secara kualitatif, ada banyak persoalan serius pada pemilu tahun ini, di antaranya DPT (daftar pemilih tetap) bermasalah, kecurangan, dan politik uang.
“Bahkan termasuk pemilu yang paling mematikan di dunia karena petugas KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara)-nya meninggal dunia terbanyak seusai pemilu,” ucapnya.
Sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo mengklaim Jokowi-JK mampu menorehkan sejarah penyelenggaraan pesta demokrasi terbesar di dunia. Keberhasilan tersebut selain merupakan capaian pemerintah dan penyelenggara pemilu, juga tak luput peran serta dari seluruh elemen negara lainnya yang mampu menjaga stabilitas keamanan hingga mencapai partisipasi masyarakat yang tinggi.
Tak hanya itu, kesuksesan tersebut juga ditopang oleh sumbangsih pemikiran dan karya bersama antara pemerintah, dan partai politik di DPR yang berhasil merumuskan dan membentuk Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai dasar penyelenggaraan pileg dan pilpres serentak yang pertama kalinya dalam sistem politik demokrasi Indonesia. “Tingkat kedewasaan politik masyarakat juga meningkat dengan berbagai dinamika politik yang juga terkadang agak tinggi,” katanya.
Kendati demikian, pihaknya tak menutup kemungkinan perlu adanya evaluasi dan penyempurnaan kebijakan bidang politik dalam negeri. Dengam begitu, dihasikan sistem politik yang permanen dan mapan ke depan, misalnya saja dalam jangka pendeknya menghadapi penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2020 dan persiapan menghadapi Pemilu 2024.
“Wajar dalam sebuah proses, di mana sistem politik harus selalu dimantapkan, ditata, disempurnakan melalui evaluasi dan membangun pola pikir yang komprehensif dan integral. Setidaknya mempersiapkan jangka pendek untuk Pilkada serentak tahun 2020 dan persiapan pada Pileg dan Pilpres tahun 2024,” kata Tjahjo. (aij)