POLITIK

Uji Materi Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 untuk Kesetaraan Hak Parpol dalam Pencalonan Presiden

JAKARTA – Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Network for
Democracy and Electoral Integrity atau NETGRIT) dengan diwakili Direktur Eksekutifnya,
Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) dan Titi Anggraini (Pemohon II), penggiat pemilu dan
demokrasi Indonesia, mengajukan uji materi atas ketentuan Pasal 222 UU 7/2017
tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu
anggota DPR sebelumnya.”
Permohonan telah diregistrasi oleh kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan
Nomor Perkara 101/PUU-XXII/2024. Selanjutnya, pada Rabu, 7 Agustus 2024, Para
Pemohon beserta Kuasa Hukum, yakni Ahmad Alfarizy, Nur Fauzi Ramadhan, dan Sandy
Yudha Pratama Hulu, mengikuti Sidang Pendahuluan di Ruang Sidang Pleno Lantai 2
MK.
Tercatat hingga permohonan ini diajukan, terdapat sekitar 34 pengujian Pasal 222 UU
Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential nomination threshold)
yang telah diputus oleh MK. Dari 32 perkara yang telah diputus, MK secara konsisten
menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden adalah konstitusional dan
merupakan suatu kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang (open
legal policy).
Para Pemohon Perkara No.101/PUU-XXII/2024 menggunakan alas hak konstitusional
Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai basis kedudukan hukum (legal standing)
dalam melakukan pengujian Pasal 222 UU Pemilu di MK. Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI
1945 mengatur bahwa “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.”
Sebagai pihak yang konsisten aktif pada isu kepemiluan dan demokrasi, Para Pemohon
menilai bahwa segala perhatian dan kepentingan mereka terhadap isu demokrasi
menjadi sia-sia dan tercederai dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu. Dengan dasar
alas hak konstitusional Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945, telah membedakan
kedudukan hukum Para Pemohon dengan pendirian Mahkamah Konstitusi yang sejak
Putusan 74/PUU-XVIII/2020 atau setelah pelaksanaan pemilu serentak sejak 2019,
membatasi kedudukan hukum pengujian Pasal 222 UU UU Pemilu hanya kepada Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik.
Oleh karena itu, hak Para Pemohon untukmembangun masyarakat melalui demokrasi tidak terikat pada pelaksanaan pemilu
serentak sebagaimana hak memilih (right to vote). Dengan demikian, Para Pemohon
memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian Pasal 222 UU Pemilu.
Kebaruan Argumentasi Permohonan
Terdapat sejumlah hal yang disoroti berkaitan dengan substansi permohonan yang
diajukan. Pertama, Para Pemohon memaparkan perbedaan dalil mereka atas
permohonan-permohonan yang telah diputus dan dipertimbangkan pokok
permohonannya oleh MK sebelumnya. Sehingga bisa dipastikan tidak terjadi ne bis in
idem (pengulangan perkara) dalam permohonan ini.
Kedua, permohonan ini menilik secara teoritik dan empirik berkenaan dengan
pendirian pembentuk undang-undang dan MK tentang ambang batas pencalonan
presiden yang menjadi basis penguatan sistem presidensialisme multipartai. Secara
teoritis, pandangan akan lemahnya sistem presidensial berpadu dengan sistem
multipartai yang berpotensi mengakibatkan deadlock dan imobilitas pemerintahan
harusnya tidak relevan di Indonesia. Adanya kecenderungan presiden dan partai politik
untuk berkoalisi secara alamiah, kuatnya basis kewenangan presiden, serta insentif
pemilu serentak dan sistem representasi proporsional nyatanya sudah cukup untuk
mencegah lemahnya presidensialisme multipartai di Indonesia.
Dengan demikian, desain ambang batas pencalonan dalam Pasal 222 UU Pemilu
melanggar aspek proporsionalitas dan rasionalitas dalam suatu pilihan kebijakan
hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Justru, pemberlakuan
ini malah melemahkan checks and balances dalam pembentukan undang-undang di
Indonesia yang mencederai kedaulatan rakyat. Hal-hal tersebut mengakibatkan Pasal
222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), dan Pasal 22E
Ayat (1) UUD NRI 1945.
Ketiga, pengaturan ambang batas pencalonan presiden tidak berkaitan dengan
penyederhanaan kepartaian dan prinsip efektif efisien dalam pemilihan presiden.
Misalnya, pada Pilpres 2004, dengan ambang batas pencalonan pada angka 3% kursi
atau 5% suara sah pemilu DPR, tercatat saat itu hanya 5 (lima) pasangan calon yang
ditetapkan KPU sebagai peserta pilpres. Ketika ambang batas pencalonan dinaikkan
menjadi 20% total kursi di DPR atau 25% dari suara sah secara nasional, pun tidak
menyederhanakan jumlah calon dan koalisi partai secara signifikan. Bahkan, penerapan
angka ambang batas pencalonan pada Pemilu 2009, bertentangan dengan
perencanaan atau peta jalan UU 23/2003 yang seharusnya menempatkan ambang
batas pencalonan sebesar 15% dari total kursi DPR atau 20% dari suara sah secara
nasional. Inkonsistensi tersebut menunjukkan bahwa basis perhitungan besaran angka
ambang batas pencalonan tidak didasarkan pada pertimbangan yang berkelanjutan,
ilmiah, dan akademis. Sebaliknya, ambang batas pencalonan justru menjadikan partai
politik kesulitan memenuhi syarat 20% kursi atau 25% suara dalam pencalonan. Hal itu
berakibat pada terhambatnya fungsi kaderisasi partai politik dan hak partai politik
. (rel)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker