Unjuk Rasa di Irak Meluas, Korban Tewas Sudah 30 Orang

MataPublik.co, Baghdad – Ribuan pengunjuk rasa bentrok dengan polisi antihuru-hara di Baghdad, dan di selatan negara itu pada Kamis (3/10), pada hari ketiga demonstrasi massa telah tercatat 30 orang tewas. Para pengunjuk rasa yang datang dengan truk mengabaikan jam malam dan gas air mata. Mereka berkumpul untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan layanan buruk merupakan tantangan terbesar bagi Perdana Menteri Adel Abdel Mahdi sejauh ini.
Abdel Mahdi jarang muncul di depan umum sejak aksi protes dan sebaliknya memilih berkomunikasi melalui pernyataan tertulis meskipun media yang dikendalikan pemerintah mengklaim dia bertemu dengan para pemimpin aksi yang namanya tidak diungkapkan. Menjelang malam, kerumunan orang masih berkumpul di sekitar gedung Kementerian Perminyakan dan Industri dan bersumpah untuk terus berbaris ke Tahrir Square. “Kami akan terus berjalan sampai pemerintah tumbang.”
“Saya tidak memiliki apapun kecuali di dompet saya Rp 2,800sementara pejabat pemerintah memiliki jutaan dolar,” kata seorang lulusan universitas 22 tahun, Ali, kepada AFP. Sebagian besar demonstran membawa bendera Irak.
Polisi antihuru-hara dan pasukan militer menembak ke tanah dari senjata otomatis yang dipasang pada kendaraan militer, peluru memantul ke kerumunan. Para pemrotes yang terluka dibawa ke rumah sakit. “Mengapa polisi menembak orang Irak seperti mereka? Mereka menderita seperti kita – mereka harusnya membantu dan melindungi kita, ”kata pengunjuk rasa bernama Abu Jaafar.
Tiga hari demonstrasi telah menewaskan 30 orang, termasuk dua petugas polisi, dan lebih dari 1.000 orang terluka, kutip Gulfnews. Lebih dari setengah dari mereka yang tewas dalam tiga hari terakhir berada di kota selatan Nasiriyah, di mana tujuh pemrotes ditembak mati dan belasan lainnya terluka pada Kamis saja.
Dua pengunjuk rasa dan seorang perwira polisi tewas di daerah Diwaniyah dan satu demonstran tewas di Al Hilla, juga di selatan Baghdad. Demonstransi dimulai hari Selasa di Baghdad tetapi sejak itu menyebar ke selatan, termasuk Provinsi Dhi Qar, Missan, Najaf, Basra, Wasit, dan Babel.
Beberapa kota telah memberlakukan jam malam, tetapi pengunjuk rasa tetap saja membanjiri jalan-jalan. Wilayah utara dan provinsi barat tetap relatif tenang. Ajakan untuk menggemakan demonstrasi massa di selatan Irak sejak lebih dari setahun yang lalu yang didorong oleh kekurangan air yang parah yang menyebabkan krisis kesehatan yang meluas.
Sejak itu, provinsi selatan menuduh pemerintah pusat gagal mengatasi kesenjangan infrastruktur yang mendalam, yang utamanya adalah pengangguran kalangan kaum muda. Ketegangan telah diperburuk oleh penutupan kantor-kantor pemerintah di Baghdad dan seruan oleh tokoh Syiah Moqtada Al Sadr untuk melakukan “pemogokan umum”.
Al Sadr berada di balik protes besar di Baghdad pada tahun 2016, ketika para pendukungnya menyerbu Zona Hijau, rumah bagi beberapa kementerian dan kedutaan besar. Keterlibatannya tampaknya jauh lebih terbatas kali ini, tetapi jika para pengikutnya bergabung dalam protes secara massal, aksi unjuk rasa kemungkinan akan semakin besar.
Dengan akses internet hampir mati, para demonstran pada hari Kamis berjuang untuk berkomunikasi satu sama lain atau memposting cuplikan aksi bentrokan terbaru. Sekitar 75 persen wilayah Irak “offline” setelah operator jaringan besar “sengaja membatasi” akses, menurut monitor keamanan siber NetBlocks.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, dan Inggris Raya meminta semuanya tenang, sementara kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengecam tanggapan terhadap protes. “Sangat memalukan bahwa pasukan keamanan Irak berkali-kali berurusan dengan pengunjukrasa dengan kebrutalan yang menggunakan kekuatan mematikan dan tidak perlu,” kata perwakilan Amnesti Internasional, Lynn Maalouf.
Protes-protes itu nampaknya sebagian besar spontan dan tidak terpusat, dengan hampir tidak ada lambang partai atau slogan yang terlihat. Beberapa warga Irak mengatakan pada hari Kamis mereka menerima pesan dari kantor Abdel Mahdi yang memberikan nomor hotline bahwa demonstrans dapat menelepon untuk menyuarakan keluhan mereka.
Perdana menteri juga membuat marah banyak rekan senegaranya karena ia banyak menyalahkan kekerasan pada “agresor’ atas tindakan mematikan yang menelan korban ini. Abdel Mahdi berkuasa pada Oktober 2018, setelah demonstrasi massa tahun lalu secara efektif mengakhiri peluang pendahulunya Haider Al Abadi pada masa jabatan kedua.
Dia berjanji untuk mereformasi lembaga-lembaga yang tidak efisien, memberantas korupsi dan memerangi pengangguran – janji-janji yang tidak terpenuhi yang tampaknya telah mendorong para pengunjuk rasa ke tepi minggu ini. Secara khusus, kemarahan telah meningkat pada tingkat pengangguran kaum muda yang mengejutkan, yang mencapai sekitar 25 persen atau dua kali lipat tingkat keseluruhan, menurut Bank Dunia. (cik)