Cendekia Muda Menggugat: Menghidupkan Kembali Kejayaan yang Dilupakan

Diskusi bertajuk Cendekia Muda Menggugat: Apresiasi dan Kepedulian Negara terhadap Ex Kerajaan-Kerajaan Nusantara”yang digelar ICMI Muda Pusat pada Rabu, 29 Oktober 2025, menghadirkan pandangan yang tajam dan menggugah kesadaran sejarah bangsa.
Forum diskusi kelompok terarah (FGD) ini menghadirkan Ketua Presidium ICMI Muda Pusat, Dr. H. Tumpal Panggabean, M.A., dan Dewan Pakar ICMI Muda Pusat, Dr. Zulkarnaen, sebagai pembicara utama.
Turut terlibat aktif dalam forum tersebut antara lain Drs. H. Bangun Lubis, M.Si (Sosiolog, Dosen Stisipol Candradimuka Palembang, dan wartawan Suara Pembaruan*), Dr. Icuk M. Syakir, M.Si (Sosiolog dan Dosen Stisipol Candradimuka Palembang), Siera Syailendra, MM (Dosen UKB Palembang), Nora Juwita, M.Ag (Wartawan BritaBrita.com), serta Khofifah, M.Si (Dosen Stisipol Candradimuka Palembang).
Diskusi yang berlangsung dinamis itu melahirkan gagasan penting: bahwa negara harus kembali menghargai eksistensi dan jasa besar kerajaan-kerajaan Nusantara, yang telah menjadi fondasi berdirinya Indonesia modern.
Warisan yang Terlupakan
Sebelum republik ini lahir, Nusantara telah lebih dulu berdiri megah di bawah panji kerajaan-kerajaan besar: **Sriwijaya** di Palembang, **Samudera Pasai** dan **Aceh Darussalam** di utara Sumatera, **Kesultanan Deli** di Medan, **Pagaruyung** di Minangkabau, hingga **Siak Sri Indrapura** di Riau.
Mereka bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan pusat pemerintahan, perdagangan, dan kebudayaan yang diakui dunia.
Namun setelah proklamasi 1945, sejarah berbalik. Eks kerajaan-kerajaan itu kehilangan kedaulatan, kehilangan wilayah, bahkan kehilangan hak untuk diingat secara layak. Yang tersisa hanyalah puing-puing istana, nisan-nisan tua, dan nama besar yang semakin kabur dalam kesadaran bangsa.
“Bangsa yang besar bukan hanya menghormati para pahlawan kemerdekaan, tetapi juga menghargai para pembangun peradaban,” ujar Dr. H. Tumpal Panggabean, M.A. dalam pengantarnya.
Menurutnya, negara harus hadir tidak hanya untuk mengelola masa depan, tetapi juga untuk menunaikan tanggung jawab moral terhadap masa lalu.
Keadilan Sejarah dan Tanggung Jawab Negara
Dr. Zulkarnaen menegaskan bahwa pengakuan terhadap eks kerajaan Nusantara bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan bagian dari amanat konstitusi.
UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
“Maka penghargaan terhadap eks kerajaan Nusantara juga merupakan penghargaan terhadap hak kemerdekaan mereka yang dulu berdaulat sebelum bergabung dengan Republik,” ujarnya.
Dalam pandangan Bangun Lubis, negara ini berdiri di atas wilayah-wilayah bekas kerajaan yang dulunya memiliki kedaulatan penuh. Maka, penghargaan terhadap mereka bukanlah kemurahan hati negara, melainkan kewajiban moral dan historis.
Ia mencontohkan Kesultanan Yogyakarta yang hingga kini masih diakui secara konstitusional sebagai daerah istimewa, dengan hak turun-temurun bagi sultan yang memerintah. “Mengapa kerajaan lain tidak diberi ruang penghormatan yang sama, meski tanpa harus melibatkan kekuasaan politik? Setidaknya, pengakuan budaya dan hak sejarah mereka dijaga,” ujarnya dalam forum itu.
Rekonstruksi Sejarah dan Rehabilitasi Budaya
Para akademisi dan praktisi yang hadir sepakat bahwa bangsa ini membutuhkan rekonstruksi sejarah yang jujur dan rehabilitasi budaya yang menyeluruh.
Dr. Icuk M. Syakir menegaskan bahwa banyak narasi sejarah Indonesia ditulis secara politis, tidak jarang menyingkirkan peran kerajaan yang tidak sesuai dengan kepentingan rezim masa lalu.
“Akibatnya, generasi muda tumbuh tanpa tahu dari mana bangsa ini berasal,” ujarnya.
Siera Syailendra dan Nora Juwita menambahkan, pelestarian situs kerajaan bukan sekadar tugas kebudayaan, tetapi juga berpotensi menjadi sumber ekonomi.
Situs-situs seperti Istana Maimun di Medan, Keraton Cirebon, Istana Siak, dan Pagaruyung dapat menjadi pusat wisata sejarah dan budaya kelas dunia bila dikelola dengan visi yang jelas dan berkeadilan.
Meneguhkan Identitas Nasional**
Diskusi FGD ICMI Muda tersebut menegaskan satu pesan utama: **modernitas tidak boleh menghapus akar sejarah bangsa.**
Pengakuan terhadap eks kerajaan Nusantara justru memperkuat jati diri Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi.
Puing-puing istana bukan sekadar bangunan tua,”tegas Khofifah di akhir diskusi.
> “Di sana terkubur kehormatan, kearifan, dan kebesaran bangsa. Jika negara terus abai, berarti kita sedang kehilangan sebagian jiwa Indonesia itu sendiri.”
FGD ICMI Muda sepakat untuk melanjutkan kajian ini sebagai bahan akademik dan rekomendasi kebijakan, termasuk usulan pembentukan undang-undang khusus tentang pelestarian eks kerajaan Nusantara.
Sebab, bangsa yang besar bukan hanya yang membangun masa depan dengan ambisi, tetapi juga yang menatap masa lalunya dengan rasa hormat dan kasih.
Editor: Bangun Lubis



